Home » , » Teori Belajar dan Pembelajaran

Teori Belajar dan Pembelajaran

Banyak pakar membuat paradigma (teori) mengenai belajar ataupun pendidikan, dan mereka saling berbeda pendapat di dalam merumuskan teori tersebut. Diversifikasi pemahaman tersebut dapat kita pahami jika kita lihat dari perspektif filosofisnya. Dan memang patut diketahui bahwa filsafat merupakan teori umum dan landasan bagi pendidikan itu sendiri, oleh sebab itu hubungan antara keduanya merupakan suatu keharusan (condisio sin quanon).

Sebagaimana pada aliran essensialisme (yang dibentuk dari idealisme dan realisme), memperhatikan pendidikan dari sisi nilai dapat mendatangkan kestabilan. Nilai-nilai tersebut berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaisance, sebagai pangkal timbulnya (Barnadib, 1988: 38).

Menurut idealisme, bila seseorang belajar, pada tahap awal adalah berarti ia memahami “aku”–nya sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, dari mikrokosmos menuju makrokosmos. Ini seperti juga yang dijelaskan oleh Kant (1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang dicapai manusia lewat indra memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh pengalaman terlebih dahulu.

Bila seseorang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti bahwa mereka mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah ada dalam ide atau budi manusia (innate ideas) sebelum ada pengalaman dan pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, melainkan benda-benda itulah yang terarah kepada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan berpikir tersebut, belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri (Pudjawijatno, 1964: 120-121).

Pandangan realisme mengenai belajar tercermin dalam pandangan atau aliran psikologi behaviorisme, asosiasionisme atau koneksionisme. A.L. Thorndike, pendukung koneksionisme menyatakan, bahwa belajar adalah berbagai kombinasi. Suatu bagian mental adalah menerima atau merasa, sedangkan bagian fisik adalah suatu stimulus atau respon. Secara khusus Thorndike melihat bahwa belajar adalah suatu proses hubungan mental dengan fisik atau mental dengan mental atau fisik dengan fisik. Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori S – R bond ( lihat Bigge, 1982:52-53).

Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan bahwa mental adalah kondisi rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang ditentukan oleh peraturan alam (determinism). Ini berarti bahwa pendidikan adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh angkatan berikutnya. Pandangan realisme ini menceriminkan adanya dua jenis determinisme, yaitu determinisme mutlak dan determinisme terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan determinisme terbatas adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.

Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut perenialisme adalah latihan dan disiplin mental. Maka teori dan praktek pendidikan haruslah mengarah pada tuntutan tersebut. Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kelebihan ketimbang yang lainnya karena anugerah “rasio”-nya. Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia dan merupakan evidensi diri. Konsep dasar tentang kebebasan manusia juga lahir dari sifat rasional manusia. Dengan demikian manusia dapat menghilangkan belenggu penindasan terhadap dirinya dan mampu menjadi merdeka. Kemerdekaan menjadi tujuan dan dilaksanakan di dalam pendidikan dan belajar itu. Oleh sebab itu, belajar pada hakekatnya adalah belajar berpikir dan menggunakan rasio tersebut.

Menurut perenialisme, belajar bertujuan agar anak didik mengalami perkembangan kepribadian yang utuh, integral dan seimbang sesuai dengan pandangannya, bahwa manusia adalah bersifat psiko-somatik (Barnadib, 1988: 77).

Menurut perenialisme, belajar itu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu belajar karena pengajaran dan belajar karena penemuan. Belajar karena pengajaran adalah dengan cara guru/pendidik memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada subyek didik, dengan menunjukkan dan menafsirkan implikasi dari ilmu pengetahuan yang diberikan. Sedangkan belajar karena penemuan adalah subyek didik diharapkan dapat belajar atas kemampuannya sendiri (belajar mandiri).

Pandangan di atas memang bersifat humanistik, yang memusatkan perhatian pada interes dan nilai-nilai manusia. Teori humanisme klasik beranggapan, bahwa pikiran manusia adalah perantara aktif di dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan secara moral pikiran manusia mempunyai sifat dasar netral sejak lahir (Bigge, 1982: 26). Sifat netral tersebut maksudnya, bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat tidak jelek dan juga tidak baik, tetapi ia potensial untuk menjadi buruk atau baik (tidak ada hubunganya dengan pembawaan lahirnya) (Bigge, 1982: 16). Pandangan tersebut didasari oleh konsep moral manusia, yaitu, bahwa substansi (pikir manusia) adalah netral-aktif, yang harus dikembangkan lewat latihan dan disiplin mental. Dalam hal ini sebagai aspek yang mendasar adalah reason yang membuat manusia mampu mencapai pengertian tentang kebutuhan-kebutuhan dan mampu menyelaraskan antara tindakan, pengertian serta mampu mengkomunikasikan pengertian-pengertian tersebut kepada setiap anggota di dalam kelompoknya. Oleh sebab itu pula, maka pikiran manusia dengan sifat dasarnya yang demikian itu (netral- active), jika dilatih secara tepat, maka pontensi pembawa lahir akan mencuat keluar (Bigge, 1982: 26).

Oleh humanisme klasik, belajar dipandang sebagai proses disiplin diri yang tegas, terdiri dari perkembangan yang harmonis antara semua kekuatan di dalam diri manusia, hingga tidak satu bagian pun yang berkembang melebihi yang lain. Dengan demikian, fungsi seorang guru adalah untuk membantu para siswa mengenali kembali apa yang telah ada dalam pikir mereka. Metode ini juga sekedar hanya menarik informasi dari para siswa dengan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan dengan ketrampilan penuh. Metode ini didasarkan pada prinsip, bahwa ilmu pengetahuan adalah pembawaan, yang tak akan muncul tanpa bantuan tenaga ahli (Bigge, 1982: 28).

Learning through unfoldment atau disebut juga naturalisme-romantic mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan aktif (good-active). Melalui alam, anak akan berkembang secara wajar. Biarkan anak berkembang sendiri sesuai dengan kodrat alam. Anak harus dijauhkan dari paksaan. Belajar sendiri sesuai dengan minatnya, ia bebas menentukan perbuatannya dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya. Teori ini dikembangkan oleh J.J. Rousseu, kemudian disusul oleh pembaharu pendidikan dari Swiss, Pestlozzi dan Froebel seorang filosof dari Jerman (Bigge, 1982: 33-34).

Rousseu berpendapat bahwa secara heriditi manusia adalah baik dan mempunyai kemampuan yang perlu dikembangkan secara alamiah. Dia beranggapan bahwa lingkungan yang jelek mampu membuat orang menjadi jelek pula, sebab lingkungan sosial bukanlah alamiah. Rousseu memberi saran, agar guru memberikan kebebasan pada siswa untuk mandiri, sehingga memungkinkan mereka berkembang secara wajar dan alamiah, baik perasaan, naluri maupun kesadaran mereka.

Disamping naturalisme-romantic, terdapat pula pandangan appersepsi, yang merupakan asosianisme mental dinamis yang didasarkan pada pemikiran, bahwa tidak ada ide-ide pembawaan lain. Segala sesuatu yang diketahui orang datangnya dari luar dirinya. Asosionisme merupakan teori psikologi umum yang di klasifikasikan menjadi dua bagian : pertama, asosiasionisme mentalistik awal, yaitu appersepsi yang berfokus pada ide-ide dalam pikiran; kedua, asosiasinosme stimulus-respon fisikalistik yang lebih modern (Bigge, 1982: 36).

Perkembangana appersepsi didasari oleh pemikiran Aristoteles pada abad ke-empat SM. Kemudian pada abad ke 17 ditentang oleh John Locke dengan mengatakan, bahwa pikiran tidak hanya dipegang oleh seseorang pasti pertama-tama diperoleh dari indera-inderanya. Teori John Locke ini sangat populer dengan Teori Tabolarasa. Konsep moral appersionisme adalah, bahwa sifat asli manusia adalah tidak baik dan tidak pula jelek dipandang dari sisi moral dan tidak pula aktif dipandang dari sisi aksi. Dibaliknya sifat asli manusia dipandang sebagai netral dari aspek moral dan pasif dari aspek aksi. Dengan demikian, pikiran merupakan produk dari pengalaman-pengalaman kehidupan (Bigge, 1982: 37).

0 komentar:

Post a Comment

Jika ada masukan, saran, kritik, atau ada yang mau ditanyakan mengenai artikel/blog ini silahkan berkomentar.

Berkomnetarlah dengan baik dan sopan :)

-->